Minggu, 29 April 2012

Cuaca Kebudayaan Indonesia Saat Ini Didorong Konsumtivisme!

JAKARTA, RIMANEWS ---- Cuaca kebudayaan Indonesia saat ini didorong konsumtivisme yang obyek sasarannya bukan barangnya langsung, tetapi hasrat, desire. ”Hal ini disebabkan ekonomi konsumsi memproduksi sesuatu yang baru tiap saat,” papar B Herry Priyono, pengajar Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Kematian nasabah kartu kredit yang berhubungan dengan penagih kartu kredit serta kasus Melinda Dee, petugas private banking yang bergaya hidup mewah serta diduga memindahkan dana nasabah ke rekening lain secara ilegal—keduanya berkaitan dengan Citibank—berhubungan dengan perilaku mengonsumsi dan suasana kebudayaan masyarakat.
Menurut Herry, kepribadian berperan penting dalam dua kejadian tersebut. ”Pertanyaannya, suasana budaya macam apa yang melahirkan hal itu,” kata dia.
Dia mengatakan, tidak lagi percaya perilaku orang adalah rasional seperti dalam diskusi-diskusi akademis. Manusia tampaknya lebih digerakkan kebiasaan (habit)-nya daripada akal. Bila hasratnya dididik selalu memenuhi kebutuhan akan barang termutakhir, maka dia akan terus mengonsumsi.
Sebenarnya, membeli barang dengan mengkredit, antara lain alat-alat dapur seperti panci, sejak dulu dilakukan di kampung-kampung di Tasikmalaya dan Garut, Jawa Barat.
Bedanya, demikian sosiolog dari Universitas Indonesia, Ery Seda, dulu orang mengkredit barang yang benar-benar dibutuhkan, sementara di dalam ekonomi kapitalistik neoliberal saat ini orang didorong mengonsumsi semakin banyak, berlebihan, akan hal-hal yang tidak dibutuhkan. Komputer, misalnya, walaupun banyak orang hanya butuh menulis kata dan surat elektronik, tetapi industri terus menghasilkan produk baru yang dibungkus dalam kemasan multimedia.
Hasrat memiliki yang terbaru mendorong orang memiliki gadget yang sebetulnya tak dia butuhkan. Masalahnya, demikian Herry, bukan baik dan buruk karena ukurannya adalah menciptakan hal baru. Teknologi menjadi instrumen untuk produksi dan memproduksi, dorongan dan mendorong konsumsi.
Masyarakat Indonesia melompat dari sistem ekonomi barter ke masyarakat kelas ekonomi menengah-atas perkotaan yang meniru sistem kapitalisme liberal. ”Terjadi kesenjangan budaya. Persoalan kartu kredit ada di mana- mana. Di Indonesia, institusinya belum siap menangani ekonomi kartu kredit, mulai dari perbankan, aturan hukum, pemerintah, dan edukasi masyarakat. Bila siap, dampak negatif kartu kredit dapat ditekan,” kata Ery.
Kepribadian baru
Media massa televisi, media cetak, film, dan multimedia berperan dalam melatihkan hasrat mengonsumsi. Begitu hebatnya gempuran itu sehingga meninggalkan jejak emosional yang masuk ke ruang bawah sadar. ”Itu penggerak terbesar dan paling berpengaruh,” kata Herry.
Karena pengobyekan hasrat melalui pembiasaan, pendidikan juga menjadi cara melatihkan kepribadian baru Indonesia yang lupa dibentuk saat reformasi 1998.
Pendidikan, demikian Ery, harus diarahkan pada mencari nilai-nilai baik dari masyarakat Indonesia sendiri, seperti arisan dan gotong royong, selain nilai kerja keras dan berkompetisi secara jujur. Selain agen perubahan yang sudah dikenal, seperti sekolah dan rumah, media massa dan industri hiburan yang kini paling dekat dengan generasi muda sangat berperan dalam mengembangkan nilai-nilai baik tersebut.
Oleh karena itu, menurut Herry, pembuat kebijakan haruslah piawai dalam soal teknis sekaligus memahami psikologi perilaku dan antropologi untuk melahirkan manusia baru Indonesia melalui pendidikan kewargaan yang tidak semata-mata berorientasi akademik. Manusia baru Indonesia idealnya pertama-tama merasa dirinya orang Indonesia dengan etos kerja keras dan komitmen pada kesejahteraan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar